“ Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas
hidupnya lahir, sedangkan hidup batin itu terdapat pada pendidikan.
Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak
tergantung kepada orang lain, akan tetapi berdasarkan atas kekuatan
sendiri.”
Ki Hajar Dewantoro.
Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa tujuan pembangunan antara lain
adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Cara mencapai tujuan tersebut yakni melalui pendidikan untuk semua orang
karena pendidikan merupakan perwujudan Hak Asasi Manusia. Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap orang berhak
memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas tanpa memandang usia,
jenis kelamin, ras, golongan ataupun agama tertentu. Pendidikan
merupakan salah satu pemenuhan hak asasi manusia untuk mengembangkan
kepribadian dan karakter yang menghargai kebebasan berpikir, menumbuhkan
sikap saling pengertian, toleransi, persahabatan dan perdamaian.
Konstitusi kitapun menyatakan keberpihakan terhadap pendidikan untuk
semua orang, yang tercantum pasa Pasal 28C (1) bahwa setiap orang berhak
untuk mengembangkan dirinya melalui pemenuhan kebutuhan dasamya,
berhak atas pendidikan dan untuk memetik manfaat dari ilmu pengetahuan
dan teknologi, seni dan budaya, untuk meningkatkan mutu kehidupannya dan
untuk kebaikan seluruh umat manusia; Pasal 31 (1) bahwa setiap warga
negara berhak menerima pendidikan; dan Pasal 31 (2) bahwa setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib mendanai
ini. Jelaslah bagi kita bahwa pendidikan haruslah bisa dinikmati
oleh semua orang termasuk kaum perempuan. Pada tingkat internasional
maupun nasional terdapat beberapa aturan yang menjamin kesetaraan
perempuan dibidang pendidikan.
Konvensi CEDAW (Comittee on Elimination of Discrimination Against
Women) berisi prinsip-pinsip: Prinsip persamaan substantif yaitu
persamaan hak, kesempatan, akses dan penikmatan manfaat ; Prinsip non
diskriminasi ; Prinsip kewajiban negara. Negara bukan hanya menjamin hak
perempuan melalui hukum dan kebijakan serta hasilnya tetapi juga
berupaya mewujudkan hak-hak perempuan. Indonesia telah meratifikasi
konvensi tersebut dalam undang-undang no 7 Tahun 1984 tentang pengesahan
konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminas terhadap
wanita. Undang-undang ini disahkan pada 24 Juli 1984 (Yayasan Obor
Indonesia, 2007). Di tingkat nasional terdapat beberapa aturan yang
mendasari pemerataan pendidikan bagi perempuan. Pertama,
Undang-undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Pasal 48 menyatakan : wanita berhak untuk memperoleh pendidikan
dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai
dengan persyaratan yang telah ditentukan. Sedangkan Pasal 60 (1)
menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan
pengajaran sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya. Kedua,
Instruksi presiden No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender
dalam pembangunan nasional. Instruksi tersebut bertujuan untuk
melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan program
pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang
tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing. Pengarusutamaan gender
dilaksanakan antara lain melalui analisis gender dan upaya komunikasi,
informasi dan edukasi tentang pengarusutamaan gender pada instansi dan
lembaga pemerintah dan pusat.
Namun demikian terdapat beberapa hambatan bagi perempuan untuk
memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan yang setara dengan kaum
pria meskipun terdapat jaminan kesetaraan bagi perampuan. Hambatan
tersebut antara lain sosio kultur masyarakat yang patrilineal. Ada
anggapan bahwa kaum laki-lakilah yang akan jadi pemimpin sehingga sangat
beralasan apabila laki-laki yang mendapat prioritas mengenyam
pendidikan setinggi-tingginya. Hal ini sejalan dengan pengertian gender
yakni pembedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan
biologis dan gender bukanlah kodrat Tuhan, melainkan
diciptakan baik oleh laki-laki, perempuan ataupun oleh masyarakat
melalui proses sosial budaya yang panjang. Sementara jenis kelamin (sex)
tidak dapat berubah maka gender, yang terbentuk melalui proses sosial
dan kultural. Oleh karena itu gender dapat berubah dari tempat ke
tempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat.
Pembedaan tersebut tidak selamanya menguntungkan, malah seringkali
merugikan.
Peran gender ternyata menimbulkan masalah yang perlu dipersoalkan,
yakni ketidak adilan yang ditimbulkan oleh pembedaan gender tersebut.
Dalam upaya penyeimbangan hak gender, upaya penyadaran gender meliputi
pemahaman perbedaan peran biologis dan peran gender sekaligus memahami
bahwa peran gender yang ditentukan melalui kontruksi sosial dan historis
dapat berubah/diubah (Suradisastra,1998). Kesadaran gender berarti
laki-laki dan perempuan bekerja bersama dalam suatu keharmonisan cara,
memiliki kesamaan dalam hak, tugas, posisi, peran dan kesempatan, dan
menaruh perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan spesifik yang saling
memperkuat dan melengkapi.
Diperlukan suatu pola pikir baru yang memberikan kesempatan meraih
pendidikan seluas-luasnya bagi kaum perempuan serta suatu strategi untuk
mencapai kesetaraan melalui kebijakan dan program yang memperhatikan
pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan
laki-laki ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi atas seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan
dan sektor pembangunan. Alasan pentingnya pendidikan bagi perempuan
adalah upaya menegakkan Hak Asasi Manusia dan melaksanakan amanat
konstitusi. Selain itu peran ibu dalam sebuah keluarga sangatlah
penting. Ibu merupakan sumber pendidikan yang utama dan pertama bagi
sebuah keluarga. Keluarga yang kuat adalah awal mula negara yang kuat.
Dirgahayu Pendidikan Indonesia !
*Penulis adalah Koordinator Forum Solidaritas Perempuan Jember
Short URL: http://jemberpost.com/?p=3460
0 komentar:
Posting Komentar