Desau angin pagi mengelus daun jati, menjadi harmoni pagi
membangunkanku dari lelah setelah semalam lekat memahat masa depan dan
bertukar cerita tentang masa lalu, di pantai sebelah rumahmu.
Berkecipak langkah di atas tanah becek, menyusuri pematang sawah sekat
alam antara laut dan rumah - rumah. Padi yang sebentar lagi panen,
menguning berkilau di bawah sinaran bulan. Purnama kali ini benarbenar
berbeda sebab telah mengantarkan kita pada sebuah perkenalan mendalam,
memahami arti masingmasing mimpi.
Datang dari kedalaman hutan, aku hadir atas undannganmu yang tinggal
beberapa ratus meter dari laut jawa, menyapamu untuk sebuah harapan.
Sebelum malam menenggelamkan kita dalam sebuah impian, terlebih dahulu
kau petik gitar yang sengaja kita bawa. Gitar yang sudah tidak lagi
berwarna bekas sentuhan tanganmu atau tangan siapa saja yang barangkali
sekedar bernyanyi atau berpuisi.
“Petik gitarmu, aku ingin berpuisi,” kataku. Tanpa bicara
kau petik gitarmu lalu kubaca perlahan sebuah geguritan yang kubuat
belum genap sebulan. Lalu Perjalanan Kata, mengakhiri puisi yang kubaca.
“Sepanjang perjalanku sore tadi,” ucapaku mengawali percakapan setelah
beberapa judul puisi terbaca “dalam deru vespa tua yang kukendarai
menujumu, aku mendapatkan inspirasi tidak untuk sebuah puisi. Kulihat
lima bocah mengelilingi gundukan tanah.”
“Gundukan tanah?” katamu bertanya. Tak peduli pertanyaanmu, kulanjutkan
bercerita tentang keinginanku untuk menumpahkan rasaku di kanvas
sebagaimana kau selama ini berkarya.
“Aku melihat sebuah rahasia yang hanya dimengerti oleh orangorang suci,
tentang sebuah rahasia tiap pribadi yang entah terkadang Tuhan
membiarkan kita bersembunyi di balik bajubaju yang sengaja tidak kita
lepaskan untuk sebuah pencitraan, juga terkadang sebuah jebakan fitnah
yang turun temurun tanpa sebuah klarifikasi yang sempat kita jelaskan
atau tak hendak kita sampaikan. Di sinilah aku melihat kemaha besaran
Tuhan dalam menutupi atau membiarkan kita larut pada sebuah keadaan yang
akan memberikan kita kekuatan bila mampu mengambil hikmah dari setiap
kejadian.”
Aku mendengar desahmu antara debur ombak yang tak henti menjadi
pengiring percakapan dalam terpaan sinar bulan yang benarbenar purnama.
Kakikaki kita basah tanpa tahu ombak yang mana yang telah menyapa
bersama semilir angin laut dan malam semakin larut bersama cerita yang
terrangterangan kita buka, tentang masa lalu dan masa depan.
“Aku berharap suatu saat kita pameran bersama,” ucapmu memecah hening
setelah kita tenggelam di masingmasing entah perenungan mana, saling
diam, tenggelam dalam harmoni malam.
“Tapi belum sekalipun aku benarbenar pernah serius mencoba,” ucapku
datar menutupi kegelisahanku menerima tawarannya yang sudah puluhan
bahkan mungkin ratusan kali mengadakan pameran lukisan di dalam dan luar
negeri.
“Tidak kawan! Justru sebab engkau belum pernah, maka kini kau mesti
mencoba. Karena tidak sekedar sebuah lukisan yang kita pamerkan tapi
bukankah kita sepakat untuk mengusung sebuah nilai dari setiap jejak
jengkal penafsiran dari penghayatan di tiap kejadian. Kapan bila tidak
sekarang engkau memberi warna kehidupan? Sebab lukisan bukan sekedar
gambaran dan harmoni warna tapi lebih kepada bagaimana kita mampu
menorehkan warna di kanvas kehidupan dalam hiruk pikuk dunia yang
semakin tidak jelas warnanya!” ucapmu bersemangat tak memberiku ruang
untuk mengelak.
Lalu kita kembali diam menyusuri ruangruang hati yang tak hendak kita
persatukan dalam sebuah goresan atau tulisan. Menyisir kegelisahan akan
purnama, masihkah di bulan depan mampu jumpai harmoni. Sebab lautan
sudah mulai kehilangan pantai untuk kita, sekedar mengurai penat rasa.
Juga kekhawatiran masihkah hutan ini yang tiap paginya selalu
membangunkanku dengan nyanyian antara gesek dedaunan.
Bila rerimbun daun juga ilalang habis terbakar perubahan dan
gununggunung habis terkikis pembangunan, kemana lagi mencari air yang
selama ini mengalir jernih antara bebatuan dan akarakar pohon lalu
membelah sawahsawah. Meninggalkan jejak cinta di bening sungai yang tak
henti menyapa kita dengan gemericik air menyentuh bebatuan?
Sebelum benarbenar pagi lalu kita bergegas ke masingmasing rumah dan
istri yang masih lelap meniti mimpi. Mampukah kau sejenak memejamkan
mata untuk persiapan lanjutkan perjalanan esok hari pada sebuah siang
yang terik di kental aroma pesisir atau sekedar sejenak membayangkan
bahwa suatu saat kau yang hadir mendatangiku bersama anak isterimu
menyusuri rerimbun hutan jati yang mulai meranggas menyongsong kemarau
sebentar lagi. Sebelum lelap dalam mimpi, kulambaikan tangan mengucap
selamat pagi menyapa lima bocah mengelilingi gundukan tanah, dari sebuah
lukisan yang baru saja kuselesaikan.
Rembang, 28 Februari 2011
Lukisan Lima Bocah - myzone.okezone.com
Jumat, 31 Agustus 2012
Lukisan Lima Bocah
Posted by Hari Pendidikan Nasional 2020
19.26, under | No comments
script type=”text/javascript” src=”http://pamungkaz.googlepages.com/snow.js”>
0 komentar:
Posting Komentar