KOMPAS/SIWI YUNITA CAHYANINGRUM
Minggu (16/9/2012).
LABUAN BAJO, KOMPAS.com — Perjalanan sejauh 620
kilometer menjelajahi lima pulau mulai dari Bali hingga Flores, Senin
(24/9/2012), akhirnya berakhir di Pulau Komodo.
Perjalanan berat bersepeda
selama
enam hari sedikit banyak memberi
gambaran tentang beragam
kekayaan
dan persoalan di Indonesia Timur.
Setelah melawan cuaca panas, angin, dan tanjakan, peserta Jelajah Sepeda Kompas
Bali-Komodo juga menemukan keramahan dan kekayaan alam dan budaya di
sepanjang perjalanan. Kelelahan yang mereka rasakan selama tujuh hari
terbayar seketika.
Tim Jelajah Sepeda Kompas Bali-Komodo
mengawali perjalanan panjangnya dari Nusa Dua, Bali, dengan 67 pesepeda
yang berasal dari berbagai latar belakang pekerjaan, asal, dan usia. Ada
wirausahawan, desainer, arsitek, dokter, hingga pensiunan.
Ada yang masih berumur 23, ada pula yang sudah berusia 62 tahun. Dari 67 peserta, lima di antaranya adalah perempuan.
Di
tim Jelajah sepeda, mereka semua bekerja bersama mengayuh sepeda.
Panasnya cuaca, kencangnya embusan angin, tanjakan, dan penyeberangan
yang panjang menjadi tantangan terbesar Tim Jelajah Sepeda Kompas Bali-Komodo.
Perjalanan
sepanjang 620 km melintasi lima pulau dalam tujuh hari sangat menguras
tenaga dan menguji mental. Saat menyeberang dari Bali ke Lombok,
peserta sudah menemukan satu tantangan, yakni lamanya penyeberangan.
Menjelang
masuk Pelabuhan Lembar, Lombok, yang hanya berjarak 35 mil, mereka
tertahan di kapal selama lima jam karena keterbatasan infrastruktur
pelabuhan.
Pada hari berikutnya, mereka merasakan ganasnya alam
Sumbawa. Di tengah padang savana, suhu udara pada siang hari mencapai 46
derajat celsius atau lebih tinggi dari suhu yang biasa mereka rasakan
sehari-hari, 36-38 derajat celsius. Di tengah panasnya cuaca, pesepeda
harus berjuang mengayuh sepeda melawan embusan angin kencang.
Berbeda
dengan penjelajahan di Jawa dan Sumatera yang pernah dilakukan
sebelumnya, angin adalah tantangan terberat para pesepeda. Padang savana
terbuka yang kering dan hanya diisi dengan vegetasi perdu membuat angin
tak terhalang. Laju kecepatan sepeda hanya sekitar 20 km per jam, lebih
rendah dari rata-rata sebelumnya yang mencapai 23-25 km per jam.
Di etape ketiga inilah sebagian pesepeda mulai tercecer, dua di antaranya mengalami cedera dan harus dievakuasi.
Perbukitan
menuju Dompu dan Bima adalah puncak dari tantangan jelajah sepeda.
Mereka harus melawan iklim Sumbawa yang panas, embusan angin yang
kencang, tanjakan sejauh 30 km, dan perjalanan sejauh 132 km dalam
kondisi fisik yang sudah lelah. Sebagian peserta mulai kehilangan fokus,
banyak yang mengeluh, ada pula yang sampai meneteskan air mata.
Namun,
tantangan belum berakhir. Pada hari terakhir di Sumbawa, mereka masih
harus menempuh jarak 56 km menuju Pelabuhan Sape yang penuh tanjakan dan
turunan. Di pelabuhan Sape, mereka mengalami sendiri bagaimana buruknya
infrastruktur menjadi pemicu keributan.
Para pengemudi protes
karena sudah harus mengantre selama lima hari untuk bisa menyeberang ke
Flores. Kapal regular yang tersedia hanya satu dan itupun hanya mampu
mengangkut 5-9 truk besar, padahal jumlah truk yang mengantre saat itu
ada 20-an truk. Kedatangan peserta jelajah pun akhirnya terlambat
sekitar 3 jam dari jadwal yang ditentukan.
Gambaran Indonesia timur
Perjalanan
berat bersepeda selama enam hari sedikit banyak memberi gambaran
beragam kekayaan dan persoalan di Indonesia timur. Hanya di Sumbawa,
peserta menemukan sisi lain keindahan Indonesia timur. Padang savana
yang luas dengan ribuan ekor ternak berlarian bebas ke sana-kemari.
Laut
yang jernih di sepanjang jalur bersepeda mereka. Tim jelajah juga
menemukan keramahan warga yang tiada putus di sepanjang jalan. Di
sepanjang perjalanan menuju Pulau Komodo, tim jelajah selalu disambut
dengan lambaian tangan warga desa, sorakan semangat, dan kekaguman
anak-anak yang terus berlari mencoba mengejar mereka dengan kaki
telanjangnya.
Di Lombok, Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad
Zainul Majdi ikut melepas tim jelajah sepeda dan memberi semangat kepada
mereka. Begitu pula di Sumbawa, ratusan anggota komunitas sepeda ikut
menghantar tim jelajah hingga ke perbatasan kota Sumbawa.
Saat
sampai di Bima, tim jelajah disambut hangat oleh Wali Kota M Qurais
Abidin dan ratusan anggota komunitas sepeda di sana. "Sambutan hangat
seperti ini bisa mengobati rasa lelah yang sudah kami rasakan sepanjang
jalan. Seolah kami adalah bagian dari perjalanan yang penting," kata
anggota tim jelajah yang dilepas secara adat di Wawo, Bima.
Saat
tiba di Labuan Bajo, mereka juga diterima secara adat. Keramahan warga
seolah tiada putus sepanjang jalan. Namun, mereka juga menemukan sebuah
persoalan besar yang tergambar dari perjalanan sepanjang Bali-Komodo.
Selain
persoalan ketertinggalan infrastruktur dan sarana penyeberangan,
terlihat pula betapa daerah timur sangat tertinggal dari sisi sumber
daya manusia. Saat beristirahat di Desa Muer, Kecamatan Plampang,
Sumbawa, mereka menemukan anak-anak yang belum bisa mengeja meski sudah
masuk kelas III SD. Mereka juga hampir tak mengenali susu sebagai
minuman mereka.
Minimnya pendidikan dan keterampilan serta
tandusnya lahan juga membuat para warga di Pidang memilih menjadi tenaga
kerja di luar negeri.
Dari sebuah penjelajahan sepeda, Kompas ingin
melihat Indonesia lebih dekat, yang pada akhirnya bisa membuat
perubahan yang berarti pada peradaban di dalamnya.
Sumber : Kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar