Cangkruk
Cangkruk
Konsep
Cangkruk Pendahuluan Lepas sembahyang Shubuh, sebuah warung kopi di
belakang Masjid Jami di salah satu sisi alun-alun Gresik yang asri,
mulai menjadi ramai. Gelak tawa terdengar ramai. Hari baru yang cerah
telah berawal. Obrolan politik, ekonomi, budaya dan agama yang up to
date menjadi penyegar suasana. Kopi memang minuman yang membuat orang
“melek”. Ada daya picu yang luar biasa dalam minuman berkafein ini.
Dibudidayakan di Indonesia sejak akhir abad ke-17, kopi telah dikenal
dan digemari masyarakat luas di Indonesia. Kopi juga merupakan komoditi
ekspor Indonesia sejak zaman VOC. Selain minum kopi atau teh, di situ
juga tersedia berbagai macam jajanan. Jajanan yang paling populer adalah
kempelan tempe yaitu tempe yang dihancurkan dan dibentuk dalam kepalan
tangan dengan tepung, kemudian digoreng. Orang-orang mengobrol dengan
santainya. Waktu seolah-olah berhenti berdetik, setelah mereka mengenali
saya sebagai orang yang sebelumnya tidak pernah ke warung itu, dan
dengan ramah mereka memperkenalkan diri sambil memperkenalkan pula
keistimewaan warung kopi tempat mereka “cangkruk” setiap pagi.
Nyangkruk, demikian istilah orang Gresik untuk menyebut acara
duduk-duduk di warung sambil mengobrol santai. Berbeda dengan teori Adi
Taroepratjeka, seorang JS-er pakar kopi, yang menyarankan agar kopi
disedu dengan air yang
pas baru mulai mendidih agar kopi bubuknya
tidak hangus, Suwito justru menyedu dengan “air tua”. Yaitu air yang
sudah mendidih tiga kali. Tidak ada kompromi tentang cara menyedu
seperti itu bagi Suwito. Kalau airnya tidak tua, nanti perut jadi
kembung, katanya memberi alasan. Suwito juga tidak tahu apa yang disebut
“crema”. Ketika saya terkagum-kagum melihat crema yang mumbul (muncul)
pelan- pelan di gelas yang tersaji di depan saya, ia langsung menguak
busa itu untuk menunjukkan “busa” lain yang berwarna kecoklatan. “Ini
buat nyepet Pak”, katanya. Ia lalu mengambil sedikit “busa” itu dan
mengoleskannya pada sebatang rokok kretek, dan menyalakannya. The
coffee- flavored clove cigarette. Busa itulah yang sebetulnya disebut
crema. Yaitu lapisan froth yang muncul di atas permukaan kopi.
Sebetulnya itu terbentuk oleh karbondioksida yang secara alamiah muncul
ketika menyedu kopi. Saya jadi ingat kata-kata Syenny Chatrine Widjaja
(cicit Liauw Tek Siong, pendiri Tek Sun Ho, eerste Weltevredensche
koffiebranderij yang sekarang menjadi Bakoel Koffie), bahwa semakin
fresh kopi bubuknya “dalam arti baru di-roast dan baru di-ground”
semakin bagus crema yang muncul. Di warung kopi Pak Rochim kopinya
memang selalu fresh. Ada
dua jenis kopi yang digilingnya: bubuk
kasar dan kasar sekali. Bubuk yang kasar sekali dipakai untuk menyedu
kopi kocok. Disebut demikian karena semakin dikocok, semakin mumbul
(naik) crema-nya. Cara minum? Dituang ke piring kecil, lalu disruput.
Kalau sudah ahli, cangkirnya dibalik di atas piring kecil itu, lalu
cairan kopi yang “bocor” diminum pelan-pelan. Harga kopinya hanya Rp 900
untuk secangkir kopi, dan Rp 1300 bila mau porsi yang lebih besar di
dalam gelas. Gak usah dibandingkan dengan Starbucks atau Coffee Bean and
Tea Leaf Cak… Nyangkruk di warung kopi Pak Rochim, kenikmatannya tak
dapat dinilai dengan rupiah atau dollar sekalipun. (disarikan dari www.kompas.com).
Tapi Cak.., aku bukan penggila kopi, dan jikapun nyangkruk cuma nyruput
es teh (sebutan es teh manis) karo godo gedang (pisang goreng), dan
menjadi pengamat di tengah konco-konco
(sahabat) yang sedang
nyangkruk dan ngobrol ngalor ngidul, sambil ngerokok sebatang dua batang
yang beraroma kopi tubruk. Dan jangan heran kalo cangkrukan mereka bisa
berjam- jam, apalagi kalo bidak catur sudah dibeber, bisa sampe Bedhug
(dhuhur). Selain nyangkruk, seringkali mereka ngobrol ngalor ngidul,
dengan tema apapun yang dirasa
up to date. Mungkin pagi itu mereka
berdiskusi masalah ekonomi, mulai dari pendapatan yang pas-pasan lah
hingga harga jual produksi yang rendah, dll. Di pagi yang lain, mungkin
ngobrol masalah Korupsi para pejabat, dll.
Dari sinilah seringkali
muncul ide dan gagasan yang tranformatif dan mempunyai tujuan
tersembunyi. Tanpa tersadar sebenarnya mereka telah melakukan apa yang
disebut “diskusi”. Proses yang biasa dilakukan oleh kaum intelek di
bangku sekolah. Berawal dari cerita itulah penulis berusaha
mengimplementasikan gagasan, untuk terus membudayakan “cangkruk” sebagai
budaya lokal yang transformatif. Bagaimana tidak, jika pada tradisi ini
terdapat sebuah proses edukasi yang harus tetap dipertahankan seperti
tradisi diskusi dan silaturahmi. Hanya saja tinggal sedikit memoles
kerangka berpikir ke arah yang lebih ilmiah, sebagai bagian dari proses
tranformasi intelektual. Konsep Keberhasilan Ekonomi Mencari kemajuan di
bidang ekonomi tidaklah bertentangan dengan pandangan Islam. Berbagai
jalan dapat ditempuh, salah satunya dengan konsep- konsep keberhasilan
yang terkait dengan nilai-nilai moral. Islam senantiasa mengaitkan
keberhasilan dengan nilai-nilai moral. M.N. Siddiqi mengatakan:
Keberhasilan terletak dalam kebaikan. Dengan perilaku manusia yang
semakin sesuai dengan pembakuan-pembakuan moral dan semakin tinggi
kebaikannya, maka dia semakin berhasil. Selama hidupnya, pada setiap
fase keberadaan, pada setiap langkah, individu Muslim berusaha berbuat
selaras dengan nilai-nilai moral. Kebaikan, dalam istilah Islam, berarti
sikap positif terhadap kehidupan dan orang lain. Hal paling buruk yang
bisa dilakukan manusia adalah meninggalkan kehidupan dan masyarakat atau
melaksanakan negativisme terhadapnya. Hal itu merupakan konsep halus
yang ditampilkan secara tidak benar baik oleh tradisi-tradisi Sufi yang
ada dalam masyarakat Muslim maupun oleh kalangan non- muslim dari
kalangan Kristen yang melihat Islam melalui lensa
prakonsepsi-prakonsepsi Kristen sepanjang hidupnya. Dr. Siddiqi sudah
mengembangkan konsep ini lebih jauh, dengan mengatakan: Manusia
dilahirkan dengan kebutuhan-kebutuhan yang tidak terhitung; berusaha
memenuhinya adalah wajar. Semakin baik kebutuhan- kebutuhan tersebut
dipenuhi berarti semakin baiklah dia. Kehidupan yang dipersiapkan secara
baik menjamin kedamaian jiwa, kepuasan dan rasa aman. Dan kondisi jiwa
semacam itulah yang menopang terbinanya suasana yang sehat, bermoral dan
bercorak spiritual. Tidak satu kemajuan material dan pembangunan
ekonomi yang dalam dirinya sendiri bertentangan dengan kemajuan moral
dan spiritual. Betapa pun juga semua kemajuan semacam itu, bila
diperoleh dengan cara yang baik dan dipertahankan, merupakan sumbangan
terhadap moralitas yang sehat dan spiritualitas yang benar. Karena itu
Islam tidak membatasi usaha-usaha untuk meraih kemajuan material. Ia
menganggap standar kepemilikan materi sebagai kondisi yang tidak
dapat ditawar-tawar bagi perkembangan pola sosial yang diinginkan, ia
mendorong setiap individu untuk melakukan semua upaya untuk
memperolehnya, ia juga menyuruh masyarakat untuk menjamin kepemilikan
tersebut bagi setiap individu dalam segala suasana. Kehidupan memiliki
aspek-aspek yang lain di luar aspek ekonomi yang menuntut pengabdian dan
memerlukan energi serta waktu untuk mengembangkannya dengan baik.
Kehidupan yang seimbang memerlukan alokasi usaha-usaha dan sumber daya
manusia secara baik. Pengabdian secara eksklusif kepada pembangunan
ekonomi bisa diartikan sebagai pengabaian terhadap aspek-aspek penting
lainnya dalam kehidupan manusia. Moralitas dan spiritualitas tidak
menuntut pengusaha untuk mengabaikan dan menghentikan ambisinya dalam
mencapai sesuatu yang sederhana. Tetapi sebaliknya ia justru akan
menekankan dan mendorong keinginannya untuk mengusahakan sesuatu yang
lebih bermanfaat. Di samping untuk memenuhi ambisi pribadi, juga sebagai
sarana untuk melayani umat manusia di sisi lain. Islam menerobos
langsung melalui berbagai suasana hiruk-pikuk kehidupan praktis. Tidak
ada sesuatu pun yang memisahkan dan memotong jalan kehidupan itu. Ia
adalah satu-satunya “jalan” kehidupan yang khusus. Dan bila kita
mengatakan bahwa kebaikan dan kesalehan seharusnya menjadi tujuan kita,
berarti kita menyatakan bahwa ini adalah jalan kehidupan yang khusus
itu. Dengan demikian, menurut Islam, upaya untuk mendapatkan kemajuan
ekonomi bukanlah sebuah kejahatan. Bahkan ia menjadi salah satu kebaikan
bila ia bisa diseimbangkan dan diniatkan untuk mendapatkan kebaikan
(thayyiban). Realita di lapangan berbicara lain,
konsep pembangunan
ekonomi Islam yang saat ini berkembang, seringkali bertentangan dengan
sistem interaksi sosial masyarakat. Sistem ekonomi Islam hadir dengan
100% wajah baru dengan menggilas tradisi berekonomi yang telah mengakar
di masyarakat. Contohnya, konsep “paron” sebagai implementasi dari
prinsip Mudharabah. “Sewan” yang merupakan implementasi dari prinsip
Ijarah dianggap bertentangan dengan Islam dan harus diperbaharui.
Sungguh merupakan konsep yang benar- benar baru. Implikasinya, paradigma
tersebut menggiring pada pembentukan ekonomi Islam yang “elitis dan
eksklusif”. Sementara ekonomi kapitalis yang masuk terlebih dahulu dapat
mengkompromikan dengan kondisi-kondisi tersebut. Paradigma ini akan
mudah dirubah ketika misi untuk kebaikan dapat diserap oleh masyarakat
tanpa paksaan. Baik melalui pengembangan keilmuan, penerapan sistem dan
penguatan
ekonomi umat. Dan dapat diimplementasikan melalui halaqah
(forum diskusi), lembaga keuangan, dan wirausaha yang berpinsip Islam,
tanpa mendikotomikan sistem yang telah berkembang. Budaya nyangkruk,
seperti yang telah dijelaskan diatas adalah sebuah bukti kuatnya sistem
interaksi yang berkembang di masyarakat. Di dalamnya terdapat transaksi
ekonomi, diskusi, dan silarurahmi. Oleh karena itu keberhasilan
pembangunan ekonomi seharusnya juga bisa masuk melalui jalur tradisi
tersebut. Dengan kata lain, bahwa halaqoh dan pemahaman ekonomi Islam
yang terinternalisasi melalui tradisi cangkruk dapat menjadi solusi
untuk mencapai target penerapan sistem ekonomi syariah melalui
pengembangan usaha dan keilmuan. Semoga melalui budaya ini, ekonomi
islami akan mudah tertranformasi melalui ide dan gagasan. Dari budaya
cangkruk, mari budayakan diskusi dengan lebih ilmiah dan merakyat.
Wallahu A’lam bi al Shawab.
pas baru mulai mendidih agar kopi bubuknya tidak hangus, Suwito justru menyedu dengan “air tua”. Yaitu air yang sudah mendidih tiga kali. Tidak ada kompromi tentang cara menyedu seperti itu bagi Suwito. Kalau airnya tidak tua, nanti perut jadi kembung, katanya memberi alasan. Suwito juga tidak tahu apa yang disebut “crema”. Ketika saya terkagum-kagum melihat crema yang mumbul (muncul) pelan- pelan di gelas yang tersaji di depan saya, ia langsung menguak
busa itu untuk menunjukkan “busa” lain yang berwarna kecoklatan. “Ini buat nyepet Pak”, katanya. Ia lalu mengambil sedikit “busa” itu dan mengoleskannya pada sebatang rokok kretek, dan menyalakannya. The coffee- flavored clove cigarette. Busa itulah yang sebetulnya disebut crema. Yaitu lapisan froth yang muncul di atas permukaan kopi. Sebetulnya itu terbentuk oleh karbondioksida yang secara alamiah muncul ketika menyedu kopi. Saya jadi ingat kata-kata Syenny Chatrine Widjaja (cicit Liauw Tek Siong, pendiri Tek Sun Ho, eerste Weltevredensche koffiebranderij yang sekarang menjadi Bakoel Koffie), bahwa semakin fresh kopi bubuknya “dalam arti baru di-roast dan baru di-ground” semakin bagus crema yang muncul. Di warung kopi Pak Rochim kopinya memang selalu fresh. Ada
dua jenis kopi yang digilingnya: bubuk kasar dan kasar sekali. Bubuk yang kasar sekali dipakai untuk menyedu kopi kocok. Disebut demikian karena semakin dikocok, semakin mumbul (naik) crema-nya. Cara minum? Dituang ke piring kecil, lalu disruput. Kalau sudah ahli, cangkirnya dibalik di atas piring kecil itu, lalu cairan kopi yang “bocor” diminum pelan-pelan. Harga kopinya hanya Rp 900 untuk secangkir kopi, dan Rp 1300 bila mau porsi yang lebih besar di dalam gelas. Gak usah dibandingkan dengan Starbucks atau Coffee Bean and Tea Leaf Cak… Nyangkruk di warung kopi Pak Rochim, kenikmatannya tak dapat dinilai dengan rupiah atau dollar sekalipun. (disarikan dari www.kompas.com). Tapi Cak.., aku bukan penggila kopi, dan jikapun nyangkruk cuma nyruput es teh (sebutan es teh manis) karo godo gedang (pisang goreng), dan menjadi pengamat di tengah konco-konco
(sahabat) yang sedang nyangkruk dan ngobrol ngalor ngidul, sambil ngerokok sebatang dua batang yang beraroma kopi tubruk. Dan jangan heran kalo cangkrukan mereka bisa berjam- jam, apalagi kalo bidak catur sudah dibeber, bisa sampe Bedhug (dhuhur). Selain nyangkruk, seringkali mereka ngobrol ngalor ngidul, dengan tema apapun yang dirasa
up to date. Mungkin pagi itu mereka berdiskusi masalah ekonomi, mulai dari pendapatan yang pas-pasan lah hingga harga jual produksi yang rendah, dll. Di pagi yang lain, mungkin ngobrol masalah Korupsi para pejabat, dll.
Dari sinilah seringkali muncul ide dan gagasan yang tranformatif dan mempunyai tujuan tersembunyi. Tanpa tersadar sebenarnya mereka telah melakukan apa yang disebut “diskusi”. Proses yang biasa dilakukan oleh kaum intelek di bangku sekolah. Berawal dari cerita itulah penulis berusaha mengimplementasikan gagasan, untuk terus membudayakan “cangkruk” sebagai budaya lokal yang transformatif. Bagaimana tidak, jika pada tradisi ini terdapat sebuah proses edukasi yang harus tetap dipertahankan seperti tradisi diskusi dan silaturahmi. Hanya saja tinggal sedikit memoles kerangka berpikir ke arah yang lebih ilmiah, sebagai bagian dari proses tranformasi intelektual. Konsep Keberhasilan Ekonomi Mencari kemajuan di bidang ekonomi tidaklah bertentangan dengan pandangan Islam. Berbagai jalan dapat ditempuh, salah satunya dengan konsep- konsep keberhasilan yang terkait dengan nilai-nilai moral. Islam senantiasa mengaitkan keberhasilan dengan nilai-nilai moral. M.N. Siddiqi mengatakan: Keberhasilan terletak dalam kebaikan. Dengan perilaku manusia yang semakin sesuai dengan pembakuan-pembakuan moral dan semakin tinggi kebaikannya, maka dia semakin berhasil. Selama hidupnya, pada setiap fase keberadaan, pada setiap langkah, individu Muslim berusaha berbuat selaras dengan nilai-nilai moral. Kebaikan, dalam istilah Islam, berarti sikap positif terhadap kehidupan dan orang lain. Hal paling buruk yang bisa dilakukan manusia adalah meninggalkan kehidupan dan masyarakat atau melaksanakan negativisme terhadapnya. Hal itu merupakan konsep halus yang ditampilkan secara tidak benar baik oleh tradisi-tradisi Sufi yang ada dalam masyarakat Muslim maupun oleh kalangan non- muslim dari kalangan Kristen yang melihat Islam melalui lensa prakonsepsi-prakonsepsi Kristen sepanjang hidupnya. Dr. Siddiqi sudah mengembangkan konsep ini lebih jauh, dengan mengatakan: Manusia dilahirkan dengan kebutuhan-kebutuhan yang tidak terhitung; berusaha memenuhinya adalah wajar. Semakin baik kebutuhan- kebutuhan tersebut dipenuhi berarti semakin baiklah dia. Kehidupan yang dipersiapkan secara baik menjamin kedamaian jiwa, kepuasan dan rasa aman. Dan kondisi jiwa semacam itulah yang menopang terbinanya suasana yang sehat, bermoral dan bercorak spiritual. Tidak satu kemajuan material dan pembangunan ekonomi yang dalam dirinya sendiri bertentangan dengan kemajuan moral dan spiritual. Betapa pun juga semua kemajuan semacam itu, bila diperoleh dengan cara yang baik dan dipertahankan, merupakan sumbangan terhadap moralitas yang sehat dan spiritualitas yang benar. Karena itu Islam tidak membatasi usaha-usaha untuk meraih kemajuan material. Ia menganggap standar kepemilikan materi sebagai kondisi yang tidak
dapat ditawar-tawar bagi perkembangan pola sosial yang diinginkan, ia mendorong setiap individu untuk melakukan semua upaya untuk memperolehnya, ia juga menyuruh masyarakat untuk menjamin kepemilikan tersebut bagi setiap individu dalam segala suasana. Kehidupan memiliki aspek-aspek yang lain di luar aspek ekonomi yang menuntut pengabdian dan memerlukan energi serta waktu untuk mengembangkannya dengan baik. Kehidupan yang seimbang memerlukan alokasi usaha-usaha dan sumber daya manusia secara baik. Pengabdian secara eksklusif kepada pembangunan ekonomi bisa diartikan sebagai pengabaian terhadap aspek-aspek penting lainnya dalam kehidupan manusia. Moralitas dan spiritualitas tidak menuntut pengusaha untuk mengabaikan dan menghentikan ambisinya dalam mencapai sesuatu yang sederhana. Tetapi sebaliknya ia justru akan menekankan dan mendorong keinginannya untuk mengusahakan sesuatu yang lebih bermanfaat. Di samping untuk memenuhi ambisi pribadi, juga sebagai sarana untuk melayani umat manusia di sisi lain. Islam menerobos langsung melalui berbagai suasana hiruk-pikuk kehidupan praktis. Tidak ada sesuatu pun yang memisahkan dan memotong jalan kehidupan itu. Ia adalah satu-satunya “jalan” kehidupan yang khusus. Dan bila kita mengatakan bahwa kebaikan dan kesalehan seharusnya menjadi tujuan kita, berarti kita menyatakan bahwa ini adalah jalan kehidupan yang khusus itu. Dengan demikian, menurut Islam, upaya untuk mendapatkan kemajuan ekonomi bukanlah sebuah kejahatan. Bahkan ia menjadi salah satu kebaikan bila ia bisa diseimbangkan dan diniatkan untuk mendapatkan kebaikan (thayyiban). Realita di lapangan berbicara lain,
konsep pembangunan ekonomi Islam yang saat ini berkembang, seringkali bertentangan dengan sistem interaksi sosial masyarakat. Sistem ekonomi Islam hadir dengan 100% wajah baru dengan menggilas tradisi berekonomi yang telah mengakar
di masyarakat. Contohnya, konsep “paron” sebagai implementasi dari prinsip Mudharabah. “Sewan” yang merupakan implementasi dari prinsip Ijarah dianggap bertentangan dengan Islam dan harus diperbaharui. Sungguh merupakan konsep yang benar- benar baru. Implikasinya, paradigma tersebut menggiring pada pembentukan ekonomi Islam yang “elitis dan eksklusif”. Sementara ekonomi kapitalis yang masuk terlebih dahulu dapat mengkompromikan dengan kondisi-kondisi tersebut. Paradigma ini akan mudah dirubah ketika misi untuk kebaikan dapat diserap oleh masyarakat tanpa paksaan. Baik melalui pengembangan keilmuan, penerapan sistem dan penguatan
ekonomi umat. Dan dapat diimplementasikan melalui halaqah (forum diskusi), lembaga keuangan, dan wirausaha yang berpinsip Islam, tanpa mendikotomikan sistem yang telah berkembang. Budaya nyangkruk, seperti yang telah dijelaskan diatas adalah sebuah bukti kuatnya sistem interaksi yang berkembang di masyarakat. Di dalamnya terdapat transaksi ekonomi, diskusi, dan silarurahmi. Oleh karena itu keberhasilan pembangunan ekonomi seharusnya juga bisa masuk melalui jalur tradisi tersebut. Dengan kata lain, bahwa halaqoh dan pemahaman ekonomi Islam yang terinternalisasi melalui tradisi cangkruk dapat menjadi solusi untuk mencapai target penerapan sistem ekonomi syariah melalui pengembangan usaha dan keilmuan. Semoga melalui budaya ini, ekonomi islami akan mudah tertranformasi melalui ide dan gagasan. Dari budaya cangkruk, mari budayakan diskusi dengan lebih ilmiah dan merakyat. Wallahu A’lam bi al Shawab.
0 komentar:
Posting Komentar