REPUBLIKA.CO.ID, Allah mengikuti persangkaan hamba-Nya. Jika sang
hamba berprasangka baik dengan berharap Allah memberinya kemudahan agar
bisa mencium Hajar Aswad, jalan menuju kesana akan dipermudah Allah.
Terkadang, cerita tentang mencium batu hitam di pojok Ka’bah itu berbau penuh mitos. Banyak kisah di luar nalar maupun logika.
Sulaiman, seorang pembimbing ibadah haji dan umrah, menceritakan,
sewaktu dia masih bermukim di Makkah pada 2000-an, kala itu, dia seusai
menunaikan tawaf. Setelah menuntaskan tujuh putaran, dia merapat ke
dinding Ka’bah. Alhamdulillah, dia dimudahkan untuk menciumnya.
Selesai mencium, keluarlah dia dari perputaran massa sekitar Ka’bah.
Saat itu, dia didatangi seorang wanita setengah baya bertampang Arab.
Dari dialeknya, Sulaiman mengidentifikasinya sebagai orang
bekewarganegaraan Saudi. “Fen Ka’bah?” tanya wanita itu ke Sulaiman.
“Fen Ka’bah” berasal dari kalimat “fii aina Ka’bah” atau “di mana
Ka’bah”. Orang Arab sering menggunakan bahasa pasaran atau bahasa gaul
(fushah). “Fii aina” diganti menjadi “fen”.
“Padahal, si ibu sedang ada di depan Ka’bah, tapi dia malah minta
ditunjukkan di mana Ka’bah,” kata Sulaiman. Walau ditunjukkan kalau
Ka’bah di depannya, dia tetap tidak bisa melihat bangunan berbentuk
persegi di tengah-tengah Masjidil Haram yang menjadi kiblat semua Muslim
saat menunaikan shalat itu.
Kisah tentang mencium Hajar Aswad juga diungkap Hasibulloh, mukimin
Saudi (orang Indonesia yang bermukim) yang diperbantukan sebagai petugas
haji di Sektor Khusus. Sektor Khusus bertugas mengawasi jamaah haji
Indonesia yang terlepas dari rombongan maupun yang kehilangan uang atau
barang.
Hasibulloh yang sudah 15 tahun bermukim di Saudi ini mengisahkan
bagaimana dia dengan mudahnya mencium Hajar Aswad. Sebelum memulai
tawaf, dia selalu berdoa agar diberi jalan lurus mencium Hajar Aswad.
Intinya, dimudahkan untuk mencium batu hitam tersebut.
Setelah menyelesaikan tujuh putaran tawaf, Hasibulloh merapat ke
Hajar Aswad. Entah mengapa, seolah jalan terbuka baginya. Padahal, waktu
itu di sekitaran area tawaf penuh sesak oleh jamaah.
Dalam ibadah haji yang kedua, merasa mudah mencium Hajar Aswad,
Hasibulloh yang sekarang menjadi mutowif (pembimbing ibadah umrah dan
haji) pun melenggang tujuh putaran. Dengan kondisi jamaah yang hampir
sama sewaktu kali pertama mencium Hajar Aswad, dia pun percaya diri kali
ini bisa mengulanginya.
Apa yang terjadi? Karena bergumam dalam hati mudah mencium Hajar
Aswad, kali ini dia justru gagal. Tubuhnya terimpit di tengah-tengah
pergerakan jamaah. “Sampai-sampai saya sesak napas, badan kayak remuk.
Saya mesti merangkak di bawah kaki orang untuk keluar dari arus putaran
jamaah di pinggiran Ka’bah,” kata Hasibulloh mengenang.
Setelah keluar dari arus putaran itu, sesak napas yang dia rasakan tadi pun hilang. “Dada saya seolah lega lagi,” katanya.
Fikri Syaukani, awak Media Center Haji, merasakan hal serupa. Tinggal
beberapa langkah lagi mendekat Ka’bah, konsentrasi yang semula fokus
mencium Hajar Aswad buyar. Dia berusaha melindungi tas kecil di
pinggangnya yang dia rasakan sedang digerayangi orang. “Wah HP hilang
nih,” katanya.
Lantaran konsentrasinya buyar, Fikri langsung terdorong menjauh dari
Hajar Aswad. “Padahal, jaraknya sudah sedikit lagi,” kata Fikri.
Lain lagi cerita Lukmanul Hakim, mukimin yang sudah 12 tahun tinggal
di Saudi. Lukman yang sudah 12 kali ibadah haji ini tidak punya
pengalaman aneh mencium Hajar Aswad. “Memang bagusnya mencium Hajar
Aswad seusai musim haji pada Muharam atau Safar,” kata Lukman.
Harian Republika